PENDAHULUAN
1
LATAR
BELAKANG
Orde
lama adalah masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia. Orde lama
berlangsung dari tahun 1945 sampai dengan 1968. Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando. Orde baru lahir Karena adanya
orde lama, orde baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi
kemunculan orde reformasi. Demikian juga setelah orde reformasi pastilah akan
berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan
setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama. Dalam
kenyataannya, bangsa Indonesia telah salah mengartikan makna dari sebuah kata
Reformasi, yang saat ini menimbulkan gerakan yang mengatasnamakan Reformasi,
padahal gerakan tersebut tidak sesuai dengan pengertian dari Reformasi. Oleh
karena itu dalam melakukan gerakan reformasi, masyarakat harus tahu dan paham
akan pengertian dari reformasi itu sendiri, agar proses menjalankan reformasi
sesuai dengan tujuan reformasi tersebut.
2
RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimana keadaan politik berdasarkan
nilai Panacasila pada masa orde lama?
b. Bagaimana keadaan politik
berdasarkan nilai Panacasila pada masa
orde baru?
c. Bagaimana keadaan politik berdasarkan
nilai Panacasila pada masa reformasi?
d. Apa saja persamaan kebijakan nilai
ekonomi pada masa orde lama, orde baru dan reformasi?
3
TUJUAN
a. Mengetahui keadaan politik
berdasarkan nilai Panacasila pada masa orde lama.
b. Mengetahui keadaan politik
berdasarkan nilai Panacasila pada masa orde baru.
c. Mengetahui keadaan politik
berdasarkan nilai Panacasila pada masa reformasi.
d. Mengetahui persamaan kebijakan nilai
ekonomi pada masa orde lama, orde baru dan reformasi.
PEMBAHASAN
1. ORDE
LAMA
Pamor Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa
yang pernah dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk
pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan.
Meredupnya sinar api Pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara
bagi jutaan orang, diawali oleh kehendak
seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung kepada persatuan dan
kesatuan.
Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang terpusat, agar dapat
menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan
melawan penjajah (nekolim, neo-kolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas
dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia atas manusia
(exploitation de nation par nation, exploitation de homme par l homme). Namun
sayangnya kehendak luhur tersebut dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh
nilai-nilai dasar Pancasila.
Selama kurun waktu berkuasanya pemerintahan orde lama,
secara perlahan tetapi pasti virtue (keutamaan) nilai-nilai luhur Pancasila
seakan akan lumat oleh sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat agresif
tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijadikan alasan untuk membangun
kekuasaan itu sendiri. Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan
bahwa revolusi belum selesai, termasuk cara cara revolusioner untuk membangun
tatanan dunia baru, dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya
seorang pemimpin revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat
dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur,
konstitusi, norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya
revolusi. Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai
kata revolusi memerlukan korban, apapun harus diberikan. Hal itu sesuai dengan
ungkapan yang seringkali diucapkan oleh Pemimpin Besar Revolusi bahwa
pengorbanan adalah sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi logis dari hakekat
revolusi, karena demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang
revolusi bahkan harus tega memakan anaknya sendiri.
Dalam gegap gempitanya atmosfir revolusioner, Pancasila
sebagai falsafah bangsa serta UUD 45 sebagai konstitusi negara, akhirnya tidak
berdaya dan harus tunduk kepada hukum revolusi. Konsekwensinya, mereka hanya
dijadikan sekedar sebuah alat revolusi. Retorika yang selalu dikumandangkan
bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun, dilakukan secara pincang. Pada
kenyataannya selama kurun waktu itu, kekuasaan yang sentralistik lebih banyak
menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan. Akibatnya, nilai-nilai luhur
dalam Pancasila tinggal menjadi kata-kata bagus yang secara retorik digunakan
oleh penguasa untuk membuai dan meninabobokan rakyat supaya lupa penderitaan
baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan.
Agar revolusi berhasil mencapai tujuannya, maka seluruh
kekuatan harus dipersatukan, sehingga presiden mempunyai kekuatan yang dahsyat
untuk menghancurkan apa yang disebut sebagai musuh-musuh revolusi?. Demi sebuah
kekuasaan yang dahsyat pulalah, maka semua cabang kekuasaan, baik legislatif, yudikatif dan kekuatan masyarakat
harus dihimpun dalam satu tangan. Rakyat harus berada di belakang pemimpin
tanpa reserve untuk menunggu komando yang
diberikan kepadanya. Manifestasi kegandrungan mempersatukan kekuatan dan
mengakumulasikan kekuasaan diwujudkan pula dalam tataran ideologis dengan
memeras Pancasila menjadi Trisila yang unsur-unsurnya adalah kekuatan golongan
nasionalis, komunis serta agama yang pada tahap berikutnya ketiga sila itupun
kemudian disimplifikasikan menjadi satu sila yang disebut Gotong Royong.
Hiruk pikuk revolusi akhirnya usai, karena ternyata kepemimpinan
revolusioner telah mengakibatkan
kejatuhan pemimpin itu sendiri melalui tragedi yang dikenal dengan nama G 30
S/PKI. Kekuasaan yang hakekatnya cenderung korup, telah menyelewengkan
nilai-nilai luhur Pancasila. Akibatnya, tragedi politik tahun 1965 yang pada
dasarnya adalah perang saudara yang disebabkan oleh konflik ideologi telah menelan korban ratusan ribu jiwa, serta
trauma dan stigma politik terhadap jutaan rakyat yang tidak tahu menahu
mengenai apa yang disebut dengan memperjuangkan sebuah revolusi.
Catatan singkat di atas adalah fakta sejarah yang
mudah-mudahan dapat menyegarkan ingatan kita semua, bahwa kesaktian serta
kekeramatan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa sangat rentan
terhadap penyelewengan oleh aktor politik pemegang kekuasaan negara. Runtuhnya
sistem kekuasaan pemerintahan Orde Lama
adalah akibat dari perilaku para pemimpin politik yang menjungkir-balikkan nilai-nilai Pancasila
demi ambisi politik yang mengatas namakan Pancasila.
Pada era Orde
Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967, pembangunan
dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya tiga ketetapan
yang menjadi dasar perencanaan nasional:
- TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
- TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,
- Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dengan dasar
perencanaan tersebut membuka peluang dalam melakukan pembangunan Indonesia yang
diawali dengan babak baru dalam mencipatakan iklim Indonesia yang lebih
kondusip, damai, dan sejahtera. Proses mengrehablitasi dan merekontruksi yang di
amanatkan oleh MPRS ini diutamakan dalam melakukan perubahan perekonomian untuk
mendorong pembangunan nasional yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian
pasca penjajahan Belanda.
Pada tahun 1947
Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan lahirnya “Panitia Pemikir
Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini masih mengutamakan bidang
ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu itu (meskipun di dalamnya tidak
mengabaikan sama sekali masalah-masalah nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi,
masalah perburuhan, aset Hindia Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan
dengan kesejahteraan sosial). Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita
utama untuk “merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan
dengan sendirinya dapat terwujud. Apalagi jika tidak diperkuat oleh
Undang-Undang yang baku pada masa itu. Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem
perencanaan pembangunan mulai tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih
sangat labil telah menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya
pembangunan untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat.
Pada masa ini
perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram. Persediaan beras
menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor beras
serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang membubung tinggi, yang
tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen ditahun 1966. keadaan
plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak sehingga proses pembangunan
Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya muncul gerakan pemberontak
G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya kekuasaan presiden Soekarno.
2.Orde Baru
Peristiwa yang
lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai
pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden
Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada
Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan
negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian
dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan
sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh. Pada masa Orde
Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya
dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang
disebut dengan konsensus nasional.
Pada era Orde
Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa kerdaulatan dalam politik,
berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang sosial budaya.
Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan upaya-upaya restrukturisasi
di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat, menghapus feodalisme, menjaga
keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan politik bebas aktif), restrukturisasi
di bidang ekonomi (menghilangkan ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi
kolonial, menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang
canggih, menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi
global) dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building,
berdasar Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya
inlander).
Pada masa ini
juga proses pembangunan nasional terus digarap untuk dapat meningkatkan
kapasitas masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Pendapatan perkapita juga
meningkata dibandingkan dengan masa orde lama. Kesemuanya ini
dicapai dalam blueprint nasional atau rencana pembangunan nasional.
Itulah sebabnya di jaman orde lama kita memiliki rencana-rencana pembangunan
lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki pula Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di jaman orde baru kita mempunyai Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I, Repelita II, Repelita III, Repelita IV,
Repelita V,dan Repelita VII (Bappenas).
Penyebab utama
runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak
tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela,
sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang
sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang
digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan
ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu
me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Keempat mahasiswa yang
gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”.
Menanggapi aksi
reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet
Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk
Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU
Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam
perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri
menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Era
Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama,
dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil
dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini.
Stabilitas yang entah semu atau memang
riil tersebut, diiringi juga dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era
pembangunan, era penuh kestabilan, yang saat ini menimbulkan romantisme dari
banyak kalangan di negara ini, ditandai dengan semakin gencarnya campaign “piye
kabare” di seantero pelosok nusantara. Menariknya, dua hal yang menjadi warna
Indonesia di era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak
lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah (baca:
Soeharto) untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu
diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya
kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang
mengganjal, kala itu tentunya.
Gencarnya
penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru salah satunya dilatarbelakangi
hal bahwa rakyat Indonesia harus sadar jika dasar negara Indonesia adalah
Pancasila itu sendiri. “Masyarakat pada
masa itu memaknai pancasila sebagai hal yang patut dan penting untuk
ditanamkan”, ujar Hendro Muhaimin, peneliti di Pusat Studi Pancasila UGM.
Selain itu menurutnya pada era Orde Baru semua orang menerima Pancasila dalam
kehidupannya, karena Pancasila sendiri adalah produk dari kepribadian dalam
negeri sendiri, dan yang menjadi keprihatinan khalayak pada masa itu adalah
Pemerintahnya, bukan Pancasilanya.
Hendro
Muhaimin juga menambahkan bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan
“menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat
politik untuk memperoleh kekuasaan. “Pada dasarnya, yang salah bukanlah
Pancasila, karena Pancasila dibuat dari penggalian kepribadian bangsa ini, dari
cerminan bangsa Indonesia, maka para pemegang kekuasaan pada rezim itu, yang menggunakan Pancasila secara
politis, adalah pihak yang seharusnya bertanggungjawab akan gejolak-gejolak
yang terjadi”, ujarnya. Namun disamping hal-hal tersebut, penanaman nilai-nilai
Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial
rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga
sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya
gotong-royong kala itu sangat dijunjung tinggi.
Selain
itu, contoh dari gencarnya penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari
penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang
menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi
masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan
Pancasila sebagai asas utamanya. Apabila ada asas-asas organisasi lain yang
ingin ditambahkan sebagai asasnya, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Oleh karena itu, muncul juga anggapan bahwa Pancasila dianggap sebagai
“pembius” bangsa, karena telah “melumpuhkan” kebebasan untuk berorganisasi.
Romantisme Pelaksanaan P4
Di
era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai
Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi
penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945,
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang
berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut
disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk
penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah
Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja.
Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode
indoktrinasi. Dalam ungkapan Langenberg (1990), Orde Baru adalah negara dan
sekaligus sistem negara (pemerintahan eksekutif, militer, polisi, parlemen,
birokrasi, dan pengadilan), yang sejak 1965/1966 membangun hegemoni dengan
formulasi ideologi sebagai tiang penyangganya. Visi Orde Baru pada saat itu
adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Hendro
Muhaimin, ketika ditanya mengenai bagaimana Pancasila dimaknai oleh rakyat
Indonesia pada saat itu jika dibandingkan dengan bagaimana rakyat memahaminya
sekarang, ia berpendapat, “Kalau itu jelas berbeda, kalau orang pada waktu
dulu dalam memaknai Pancasila, kental
sekali suasana Pancasilanya, maka orang sangat memaknai. Kalau bicara sekarang,
sangat jauh dengan suasana dulu.” Banyak masyarakat pada zaman itu dapat
menghafalkan butir-butir Pancasila yang jumlahnya 36 butir, itu pun memang
karena dampak dari pelaksanaan P4 bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sejalan
dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi
semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku
masyarakat. Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak
boleh diutak-atik maupun ditafsirkan dengan beberapa penafsiran. Seakan-akan
ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau bertentangan dengan
kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan
negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman
nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa sejalan dengan fakta yang
terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan pemerintah. Akibatnya, bukan
nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi
kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para
pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta
tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pun tidak menerima adanya
penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan pemerintah yang benar-benar
pro-rakyat.
Pancasila yang Begitu
Diagung-Agungkan
Tidak
salah jika menyebut era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila.
Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai
keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya
terhadap Pancasila. Pada sebuah forum di tahun 1972, dalam sebuah kunjungannya
ke Australia, Soeharto menyatakan bahwa kepribadian bangsa Indonesia terbentuk
dari perjalanan sejarahnya, baik ketika dalam masa kegemilangan di era Kerajaan
Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, maupun ketika dalam fase penderitaaan di
bawah penjajahan sepanjang tiga setengah abad. Kepribadian tersebut kemudian
menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia, yakni Pancasila, yang sila-silanya
merupakan sebuah kesatuan yang bulat. Di dalamnya juga tersimpul mengenai
kesadaran bangsa Indonesia bahwa manusia tergantung pada
keseimbangan-keseimbangan, antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan,
dan lahir dengan batin. Sebuah pemaparan ekselen, yang mungkin saja memang
bertujuan untuk menarik perhatian “para bule hadirin” dalam forum tersebut,
Australia-Indonesia Business Cooperation Committee.
Lain
lagi ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai suatu force
yang dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh, elegan, begitu superior.
Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila sebagai “tuntunan hidup”,
menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber tertib seluruh perikehidupan”, serta
merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber tertib hukum”. Kepada pemuda
Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1974, Soeharto juga dengan
lantang menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan tetapi
harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat
maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam versi Orde
Baru tentunya.
Pelaksanaan
pemaparan materi P4 yang begitu digencarkan di era Orde Baru juga merupakan
upaya dari Pemerintah untuk menghegemonikan keberadaan Pancasila di tengah
rakyat Indonesia. Hendro Muhaimin, berpendapat bahwa tujuan dari
dilaksanakannya pemaparan P4 sebenarnya baik, mengingat Pancasila adalah dasar
negara, sudah seharusnya Warga Negara Indonesia memahami isi dan maksud dari
Pancasila, ke depannya bertujuan membentuk Warga Negara Indonesia sebagai
manusia yang ber-Pancasila. “Tujuannya memang sudah bagus dan mulia, tetapi
salahnya karena terjadi banyak penyimpangan seiring berjalannya pemerintahan
Orde Baru”, ujarnya.
Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era
Orde Baru
Termasuk
di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978 (sudah dicabut),
adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah
Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, yang serta merta “wajib
hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat Indonesia yang
mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu
terciptalah negara Indonesia yang adil dan makmur, jaya di segala bidang. Akan
tetapi, justru penghafalan itu yang menjadi bumerangnya. Cita-cita yang terkembang
melalui P4 hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada pengamalan yang berarti
untuk setiap butir yang terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi secara
general. Sebagai contoh adalah mengenai pelaksanaan demokrasi di era Orde Baru.
Berwajahkan “Demokrasi Pancasila”, akan tetapi dalam kenyataannya bak jauh
panggang dari api. “Penataran itu sifatnya hanya menghafal, kemudian mengenai
proses pelaksanaan secara langsung dari 36 butir Pancasila, dulu melalui
kegiatan seperti gotong-royong kerja bakti warga. Tetapi pelaksanaan demokrasi
pada saat Orde Baru itu sangat minim”, ujar Hendro Muhaimin.
Kebebasan
tanpa koersi yang menjadi pilar utama dari prinsip demokrasi secara umum,
dipadukan dengan nilai-nilai Pancasila yang terkandung melalui kelima silanya, sejatinya
merupakan sebuah kombinasi yang apabila dilaksanakan sesuai hakikatnya oleh
Pemerintah Orde Baru tentu akan memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat
Indonesia pada saat itu. Akan tetapi, justru koersilah yang menjadi “senjata”
pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang, berdasarkan standar yang dibangun
pada saat itu, bernuansa ketertiban dan keselarasan.
3. MASA REFORMASI
1.
Pengertian Reformasi
Makna
Reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dari akar kata
reform, sedangkan secara harfiah reformasi mempunyai pengertian suatu gerakan
yang memformat ulang, menata ulang, menata kembali hal-hal yang menyimpang,
untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai
ideal yang di cita-citakan rakyat. Reformasi juga di artikan pembaharuan dari
paradigma, pola lama ke paradigma, pola baru untuk memenuju ke kondisi yang
lebih baik sesuai dengan harapan.
2.
Syarat-Syarat Dilakukannya Reformasi
Untuk
melakukan reformasi, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu:
a. Adanya suatu penyimpangan.
b. Berdasar pada suatu kerangka struktural
tertentu.
c. Gerakan reformasi akan mengembalikan
pada dasar serta sistem Negara demokrasi.
d. Reformasi dilakukan kearah suatu
perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik
e. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar
moral dan etik sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, serta terjaminnya
persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Tujuan Reformasi
Tujuan
reformasi dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Melakukan perubahan secara serius dan
bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
2. Menata kembali seluruh struktur kenegaraan,
termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang dari arah perjuangan dan
cita-cita seluruh masyarakat bangsa;
3. Melakukan perbaikan di segenap bidang
kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan;
4. Menghapus dan menghilangkan cara-cara hidup
dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan
reformasi, seperti KKN, kekuasaan sewenang-wenang atau otoriter, penyimpangan,
dan penyelewengan yang lain.
4.
Peranan Pancasila sebagai paradigma
reformasi
Inti
reformasi adalah memelihara segala yang sudah baik dari kinerja bangsa dan
negara dimasa lampau, mengoreksi segala kekurangannya,sambil merintis
pembaharuan untuk menjawab tantangan masa depan. Pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara masa lalu memerlukan identifikasi, mana yang masih
perlu pertahankan dan mana yang harus diperbaiki. Pancasila yang merupakan lima
aksioma yang disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia jelas akan mantap
jika diwadahi dalam sistem politik yang demokratis, yang dengan sendirinya
menghormati kemajemukan masyarakat Indonesia. Pemilihan umum, salah satu sarana
demokrasi yang penting, baru dipandang bebas apabila dilakukan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Peranan
Pancasila dalam era reformasi harus nampak sebagai paradigma ketatanegaraan,
artinya Pancasila menjadi kerangka pikir atau pola pikir bangsa Indonesia,
khususnya sebagai Dasar Negara. Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ini berarti bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara
Indonesia haru selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.
Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat, maupun dari
pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum yang jelas. Jadi
hukum yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
4.1 Gerakan Reformasi
Pada
pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini, bangsa Indonesia
menghadapi krisis ekonomi yang hebat, sehingga menyebabkan stabilitas ekonomi
makin ambruk dan menyebar luasnya tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada
hampir semua instansi pemerintahan serta penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang
para petinggi negara yang membuat rakyat semakin menderita. Pancasila yang pada
dasarnya sebagai sumber nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat
pelaksana negara digunakan sebagai alat legitimasi politik, semua tindakan dan
kebijakan mengatasnamakan Pancasila, kenyataannya tindakan dan kebijakan
tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila.
Klimaks
dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, sehingga
muncullah gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan
masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanyaReformasi di
segala bidang terutama bidang hukum, politik, ekonomi, dan pembangunan. Awal
dari gerakan Reformasi bangsa Indonesia, yakni dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan oleh Prof. Dr. B.J
Habibie. Kemudian diikuti dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.
Dalam pemerintahan Habibie, melakukan reformasi secara menyeluruh terutama
pengubahan pada 5 paket UU. Politik tahun 1985, kemudian diikuti dengan
reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu
diwujudkan UU Anti Monopoli, UU Persaingan
Sehat, UU Kepailitan, UU Usaha Kecil, UU Bank Sentral, UU Perlindungan
Konsumen, UU Perlindungan Buruh, dan lain sebagainya (Nopirin dalam Kaelan,
1998:1). Dan dengan demikian, reformasi harus juga diikuti reformasi hukum
bersama aparat penegaknya serta reformasi pada pemerintahan. Susunan DPR dan
MPR harus mengalami reformasi yang dilakukan melalui Pemilu. Reformasi terhadap
UU Politik harus dapat menjadikan para elit politik dan pelaku politik bersifat
demokratis, yang mau mendengar penderitaan masyarakat dan mampu menjalankan
tugasnya dengan benar.
a. Gerakan
Reformasi dan Ideologi Pancasila
Dalam kenyataannya, bangsa Indonesia
telah salah mengartikan makna dari sebuah kata Reformasi, yang saat ini
menimbulkan gerakan yang mengatasnamakan Reformasi, padahal gerakan tersebut
tidak sesuai dengan pengertian dari Reformasi. Contohnya, saat masyarakat hanya
bisa menuntut dan melakukan aksi-aksi anarkis yang pada akhirnya terjadilah
pengerusakan fasilitas umum, sehingga menimbulkan korban yang tak bersalah.
Oleh karena itu dalam melakukan gerakan reformasi, masyarakat harus tahu dan
paham akan pengertian dari reformasi itu sendiri, agar proses menjalankan
reformasi sesuai dengan tujuan reformasi tersebut. Secara harfiah reformasi
memiliki makna yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau
menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau
bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat
(Riswanda dalam Kaelan, 1998).
b.
Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Pancasila
merupakan dasar filsafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, namun ternyata Pancasila tidak diletakkan pada kedudukan dan
fungsinya. Pada masa orde lama pelaksanaan negara mengalami penyimpangan dan
bahkan bertentangan dengan Pancasila. Presiden seumur hidup yang bersifat
diktator. Pada masa orde baru, Pancasila hanya sebagai alat politik oleh
penguasa. Setiap warga yang tidak mendukung kebijakan penguasa dianggap
bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, gerakan reformasi harus
dimasukkan dalam kerangka Pancasila, sebagai landasan cita-cita dan ideologi
negara Indonesia, agar tidak terjadi anarkisme yan menyebabkan hancurnya bangsa dan negara Indonesia.
5.
Reformasi dengan paradigma pancasila
Setiap
sila mempunyai nilai dalam paradigma reformasi, yaitu:
a.
Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi
berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang
baik sebgai manusia makhluk tuhan.
b.Reformasi
yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi
berlandaskan pada moral kemanusiaan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh
penghargaan atas harkat dan martabat manusia
c.
Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus
menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan.
d.
Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek
dan pemegang kedaulatan.
e.
Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
6.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam
era reformasi akhir-akhir ini, seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan
hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan
penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan. Agenda yang lebih konkrit yang
diperjuangkan oleh para reformis yang paling mendesak adalah reformasi bidang
hukum.
Hal
ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat
runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu sub system yang mengalami kerusakan
parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun
penegakkannya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan,
kerakyatan, serta keadilan. Sub-sistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi
pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat
imperative bagi penyelenggara pemerintahan.
a.
Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
Pancasila
merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah
penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Pancasila berfungsi
sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya berbagai macam upaya perubahan
hukum, atau Pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum.
Agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus
senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan
masyarakat yang dilayaninya dan dalam pembaharuan hukum yang terus menerus
tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma dan
sumber nilai-nilainya. Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun
fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu
tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa
dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan
maknanya itu sendiri.
Sumber
hukum meliputi dua macam pengertian. Pertama, sumber formal hukum, yaitu sumber
hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum. Kedua, sumber
material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau suatu isi
suatu norma hukum. Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan
perundang-undangan Indonesia yang tersusun secara hierarkis. Selain sumber yang
terkandung dalam Pancasila reformasi dan pembaharuan hukum juga harus bersumber
pada kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat terutama dalam wujud
aspirasi-aspirasi yang dikehendakinya. Oleh karena itu, dalam reformasi hukum
dewasa ini selain Pancasila sebagai paradigma pembaharuan hukum yang merupakan
sumber norma dan sumber nilai, terdapat unsur pokook yang justru tidak kalah
pentingnya yaitu kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat.
b.
Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Reformasi
hukum harus konsepsional dan konstitusional, sehingga reformasi hukum memiliki
landasan dan tujuan yang jelas. Dalam upaya reformasi hukum dewasa ini telah
banyak dilontarkan beerbagai macam pendapat tentang aspek apa saja yang dapat
dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan telah banyak usulan untuk
perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan secara menyeluruh terhadap
pasal-pasal UUD 1945. Berdasarkan banyaknya aspirasi yang berkembang cenderung
ke arah adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 bukannya perubahan
secara menyeluruh namun hendaklah dipahami secara obyektif bahwa bilamana
terjadi perubahan seluruh UUD 1945 maka hal itu tidak menyangkut perubahan
terhadap pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945 berkedudukan sebagai
pokok kaidah negara yang fundamental. Oleh karena itu, apabila merubah pembukaan
dari UUD 1945 maka sama halnya membubarkan negara Indonesia. Seluruh perubahan
maupun produk hukum di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok-pokok pikiran
yang yang tertuang dalam Pancasila yang hakikatnya merupakan cita-cita hukum
dan merupakan esensi dari sila-sila Pancasila. Dasar yuridis Pancasila sebagai
reformasi hukum adalah Tap No.XX/MPRS/1966, yang menyatakan bahwa Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai
sumber produk serta proses penegakan hukum yang harus senantiasa bersumber pada
nila-nilai Pancasila dan secara eksplisit dirinci tata urutan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.
7.
Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan
sumber nilai system politik Indonesia dalam pembukaan UUD’45 alenia IV, jika
dikaitkan dengan alenia II, dasar politik ini menunjukkan bentuk dan bangunan
kehidupan masyarakat Indonesia. Namun dalam kenyataannya nilai demokrasi ini
pada masa Orla dan Orba tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Reformasi
politik pada dasarnya berkenaan dengan masalah kekuasaan yang memang diperlukan
oleh negara maupun untuk menunaikan dua tugas pokok yaitu memberikan
kesejahteraan dan menjamin keamanan bagi seluruh warganya. Reformasi politik
terkait dengan reformasi dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti bidang
hukum, ekonomi, sosial budaya serta hakamnas. Misalnya, dalam bidang hukum,
segala kegiatan politik harus sesuai dengan kaidah hukum, oleh karena itu hukum
harus dibangun secara sistematik dan terencana sehingga tidak ada kekosongan
hukum dalam bidang apapun. Jangan sampai ada UU tetapi tidak ada PP
pelaksanaanya yang sering kita alami selama ini.
8.
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Sistem
ekonomi Indonesia pada masa Orba bersifat birokratik otoritarian. Kebijaksanaan
ekonomi yang selama ini diterapkan hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan
mengabaikan prinsip kesejahteraan bersama yang kenyataannya hanya menyentuh
kesejahteraan sekelompok kecil orang. Maka dari itu perlu dilakukan langkah
yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada
ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Sejarah
Pemikiran Dan Perkembangan Pancasila Di Masa Orde Lama, Orde Baru
Dan Reformasi
Di setiap masa,
pancasila mengalami perkembangan terutama dalam mengartikan Pancasila itu
sendiri. Pada masa orde lama yaitu pada masa kekuasaan presiden Soekarno,
Pancasila mengalami ideologisasi. Pada masa ini pancasila berusaha untuk
dibangun, dijadikan sebagai keyakinan, kepribadian bangsa Indonesia. Presiden
Soekarno, pada masa itu menyampaikan ideologi Pancasila berangkat dari mitologi
atau mitos, yang belum jelas bahwa pancasila dapat mengantarkan bangsa
Indonesia ke arah kesejahteraan. Tetapi Soekarno tetap berani membawa konsep
Pancasila ini untuk dijadikan ideologi bangsa Indonesia.
Soekarno di
dalam menjalankan Pancasila tidak berjalan dengan mudah. Banyak tantangan yang
dihadapi, yaitu muncul dari kelompok nasionalis-religius yang belum menerima
Pancasila. Mereka masih menginginkan sila pertama dari Pancasila adalah
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dan yang paling besar menolak Pancasila adalah Kahar Muzakar, yang selanjutnya
memberntuk DI/TII sebagai perlawanan terhadap pemerintah dan untuk menjadikan
negara Indonesia sebagai negara Islam.
Selain itu,
kelompok nasionalis-komunis, PKI, yang menginginkan negara Indonesia menjadi
negara komunis. PKI menganggap tuhan tidak ada. Sedangkan negara Indonesia mengakui
keberagaman agama yang ada di Indoensia. Ini berarti negara Indonesia percaya
adanya tuhan. Tetapi di dalam perkembangannya, Presiden Soekarno lebih
cenderung ke komunis dan tidak lagi bersifat nasionalis. Ini menjadi salah satu
bukti penyelewengan Soekarno terhadap Pancasila. Penyelewengan yang lain adalah
Soekarno menerapkan Demokrasi terpimpin, yaitu kekuasaan pemerintahan ada di
tangan Soekarno. Padahal demokrasi yang benar adalah demokrasi yang dipegang
dan dikendalikan oleh rakyat bukan oleh penguasa. Dan juga Soekarno
mengeluarkan pernyataan bahwa presiden menjabat seumur hidup. Ini berarti
negara Indonesia akan mengalami keotoriterian seorang penguasa.
Pada masa orde
baru, yaitu kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai indoktrinasi.
Pancasila dijadikan oleh Soeharto sebagai alat untuk melanggengkan
kekuasaannya. Ada beberapa metode yang digunakan dalam indoktrinasi Pancasila,
yaitu pertama, melalui ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-sekolah,
melalui pembekalan atau seminar. Kedua, asas tunggal, yaitu Soeharto
membolehkan rakyat untuk membentuk organisasi tetapi harus berasaskan Pancasila
yang merupakan Pancasila versi Soeharto. Ketiga, stabilisasi yaitu Soeharto
melarang adanya kritikan yang dapat menjatuhkan pemerintah. Jadi Soeharto
beranggapan bahwa kritik terhadap pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di
dalam negara. Dalam menstabilkannya, Soeharto menggunakan kekuatan
militer sehingga tidak ada yang berani untuk mengkritik pemerintah. Maka muncul
penentang-penentang terhadap Pancasila, yaitu mereka lebih ke
gerakan bawah tanah. Dan penentangnya hampir sama dengan penentang di masa orde
lama. Salah satunya kelompok komunis.
Soeharto dalam
menjalankan Pancasila melakukan beberapa penyelewengan, yaitu Soeharto
menerapkan demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat di tangan
pemerintah. Selain itu, Soeharto memegang kendali terhadap lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif sehingga peraturan yang dibuat harus sesuai dengan
persetujuan Soeharto. Dan juga Soeharto melemahkan aspek-aspek demokrasi
terutama pers karena dapat membahayakan kekuasaan Soeharto. Maka Soeharo
membentuk Departemen penerangan atau lembaga sensor secara besar-besaran agar
setiap berita yang dimuat di media tidak menjatuhkan pemerintah. Penyelewengan
yang lain adalah Soeharto melanggengkan korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga
pada masa ini banyak pejabat negara yang melakukan korupsi dan juga pada masa
ini negara Indoensia mengalami krisis moneter.
Sedangkan pada
masa reformasi, Pancasila sebagai re-interprestasi, yaitu Pancasila harus
selalu di interprestasikan kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam
menginterprestasikannya harus relevan dan kontekstual. Berarti harus sinkron
atau sesuai dengan kenyataan atau zaman pada saat itu. Pancasila pada
masa reformasi tidak jauh berbeda dengan Pancasila pada masa orde baru dan orde
lama, yaitu tetap ada tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu adalah KKN,
yang merupakan masalah yang sangat berat dan sulit untuk dituntaskan. Apalagi
pada masa ini korupsi benar-benar merajalela. Para pejabat negara yang
melakukan korupsi sudah tidak malu lagi. Mereka malah bangga, dengan
ditunjukkan saat pejabat itu keluar dari gedung KPK dengan melambaikan tangan
serta tersenyum, seperti artis yang baru terkenal. Ini merupakan masalah yang
benar-benar harus diselesaikan. Selain KKN, globalisasi menjadi racun bagi
bangsa Indonesia karena semakin lama ideologi Pancasila tergerus dengan
ideologi liberal dan kapitalis. Ditambah lagi tantangan pada masa ini bersifat
terbuka, lebih bebas dan nyata. oleh sebab itu, kita harus melaksanakan
Pancasila sesuai dengan nilai-nilai dikandungnya, serta mengembangkan toleransi
dan plurralisme di dalam diri kita masing-masing.
Ø Persamaan
kebijakan ekonomi pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.
1. Sama-sama
masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan
Setelah
Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan
namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah
terkaya dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8
(1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan
distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006). Sehingga
dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan
ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata
terhadap masyarakat.
2. Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
Orde
Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
Orde
Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).
Reformasi:
Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa,media
elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.
Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan
masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat praktik-pratik pemerintahan yang
manipulatif dan tidak terkontrol.
3.
Kebijakan Pemerintah
Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi
kini, kewenangan menjalankan anggaran negara tetap ada pada Presiden
(masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap
periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah
dewa”). Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam
menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk
disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat,
serta keamanan dan ketertiban. Kebijakan anggaran negara yang diterapkan
pemerintah selama ini sepertinya berorientasi pada ekonomi masyarakat. Padahal
kenyataannya kebijakan yang ada biasanya hanya untuk segelintir orang dan
bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang
tidak tepat sasaran, yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih
mendalam kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat
jangka pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke
masa yang akan datang, namun biasanya cenderung untuk mengatur hal-hal yang
sedang dibutuhkan saat ini.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
Sejarah panjang mengenai dinamika politik pada masa orde lama di Indonesia yang
berhubungan dengan praktek politik berdasar demokrasi muncul semenjak
dikelurkannya Maklumat Wakil Presiden No.X, 3 November 1945, yang menganjurkan
pembentukan partai-partai politik. Perkembangan demokrasi dalam masa revolusi
dan demokrasi parlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas.
Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik dan
ceremonial, sementara kekuasaan pemerintah yang nyata dimiliki oleh Perdana
Menteri, kabinet dan parlemen. Kegiatan partisipasi politik di masa itu
berjalan dengan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang
mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai primordialisme yang tumbuh
di tengah masyarakat. Namun, demikian, masa itu ditandai oleh terlokalisasinya
proses politik dan formulasi kebijakan pada segelintir elit politik semata, hal
tersebut ditunjukan pada rentang 1945-1959 ditandai dengan adanya
tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit partai dan masyarakat berada
dalam keadaan terasingkan dari proses politik.
Namun
pada akhirnya masa tersebut mengalami kehancuran setelah adanya perpecahan
antar-elit dan antar-partai politik di satu sisi dan pada sisi yang lain adalah
karena penentangan dari Soekarno dan Militer terhadap distribusi kekuasaan yang
ada, terlebih Bung Karno sangat tidak menyukai jika dirinya hanya dijadikan
Presiden simbolik. Perpecahan yang terjadi diantara partai politik yang
diperparah oleh konflik tersembunyi antara kekuatan partai dengan Bung Karno
dan Militer, serta adanya ketidakmampuan sistem cabinet dalam merealisasikan
program-programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional, telah membuat periode
revolusi dan demokrasi parlementer oleh krisis integrasi dan stabilitas yang
parah. Pada keadaan inilah Bung Karno memanfaatkan situasi dan pihak militer
untuk menggeser tatanan pemerintahan ke arah demokrasi terpimpin pun ada di
depan mata. Dengan adanya Konsepsi Presiden tahun 1957, direalisasikannya
nasionalisasi ekonomi, dan berlakunya UU darurat, maka pintu ke arah Demokrasi
terpimpin pun dapat diwujudkan seperti apa yang telah dia idam-idamkan.
Mengenai demokrasi terpimpin yang sudah
di depan mata Bung Karno. Jelas permasalahan dari demokrasi terpimpin sendiri
kita ketahui adalah berubahnya peta distribusi kekuasaan. Kekuasaan yang semula
terbagi dalam sistem parlementer berubah menjadi kekuasaan yang terpusat
(sentralistik) pada tangan Bung Karno, dan secara signifikan diimbangi oleh
peran dan kekuasaan PKI dan Angkatan Darat. Dan akhirnya menjadi blunder bagi
Bung Karno sendiri dengan adanya peristiwa pemberontakan PKI tanggal 30
september 1965 dalam kepemerintahannya. Setelah itu terjadi penyerahan
kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Keruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru
di penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan akan perbaikan keadaan
sosial, ekonomi dan politik. Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan
terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokrasi. Salah satu harapan
dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara
negara dan masyarakat. Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan
yang memiliki dasar argumen empirik yang memadai diantaranya adalah berbeda
dengan demokrasi terpimpin Bung Karno yang lahir sebagai produk rekayasa elit,
orde baru lahir karena adanya gerakan massa yang berasal dari arus keinginan
arus bawah, kemudian rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan
oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya
kesejajaran. Dalam artian, mengenai kebijakan politik yang ada tidak lagi
diserahkan pada peran politis dan ideology, melainkan pada para teknokrat yang ahli.
Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh
terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan
masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di
tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat
kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun
harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.Itulah
beberapa sekelumit cerita tentang Orde Lama dan Orde Baru, tentang bagaimana
kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru
akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi
yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.
DAFTAR
RUJUKAN
Kaelan. 2004. Pendidikan
Pancasila. Jogyakarta: Paradigma, Edisi Reformasi.
Komalasari,
Kokom.2007. Pendidikan Pancasila. Jakarta: Lentera Cendekia.
“Pancasila Sebagai Paradigma
Reformasi” http://exalute.wordpress.com/2008/07/24/pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan/. 20 Maret 2012. 07:08.
Syarbani, Syahrial.
2004. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
http://www.slideshare.net/kikieviwahyuliana9/masa-pemerintahan-orde-lama-dan-orde-
baru?related=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar